BUDAYA RITUAL DALAM PENGOBATAN

BUDAYA RITUAL DALAM PENGOBATAN

Pada saat Mulajadi Nabolon kembali ke benua atas, Mulajadi Nabolon bersabda kepada Raja Ihat Manisia dan Siboru Ihat Manisia. “Jika kamu sekalian penghuni Benua Tengah hendak berhubungan dan bersekutu dengan kami penghuni Benua Atas, maka segala jenis sesajen yang hendak kamu persembahkan harus disusun rapi dan bersih serta diiringi dengan rasa penyampaian yang tulus dan suci.  Sudah kuberikan kepadamu Hata Dua, apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan dan dirimu harus bersih dan suci”.       Bersumber dari ajaran tersebut Parmalim memberikan pelean atau sesajen suci dengan dihantar asap dupa dan air suci serta bersih tidak boleh makan daging babi dan anjing serta darah dan bangkai. Sebagai tindak lanjut ajaran tadi Ugamo Malim mempunyai rukun dan aturan yang dilaksanakan dan menjadi pedoman prilaku Parmalim antara lain :

1. Marari Sabtu

Pada setiap hari sabtu atau samisara seluruh umat Parmalim berkumpul di tempat yang sudah ditentukan baik di Bale Partonggoan, Bale Pasogit di pusat maupun ruma Parsantian di cabang/daerah untuk melakukan sembah dan puji kepada Mulajadi Nabolon dan pada kesempatan itu para anggota diberi poda atau bimbingan agar lebih tekun berprilaku menghayati Ugamonya.

2. Martutuaek

Upacara yang dilakukan di rumah umat yang mendapat kelahiran seorang anak, atau pemberian nama kepada anak. Anak yang baru lahir sebelum dibawa bepergian kemana-mana harus lebih dahulu diperkenalkan dengan bumi terutama air untuk memebrsihkan dan ini dilaksanakan membawa anak tersebut ke umbul mata air disertai dengan bara api tempat membakar dupa. Kemudian baru dibawa ke dunia baru yaitu pasar dan diberi buah-buahan, manis perlambang hari depan yang makin manis. Setelah dirumah dilanjutkan lagi dengan upacara, bergantung pada kemampuan keluarga tersebut. Pada saat pulang dari pasar tadi, siapa saja diinginkan oleh keluarga si anak meminta buah-buahan bawaan si anak tadi sebagai perlambang bahwa si anak kelak akan bersifat maduma.

3. Mardebata

yaitu upacara yang sifatnya individual dimana seorang melaksanakan upacara sendiri tanpa melibatkan orang lain. Ritual ini sendiri mempunyai tujuan ganda yaitu meminta keampunan dosa atau menebus dosa dan syukuran. Seseorang yang merasa dirinya menyimpang dari aturan patik perlu menyelenggarakan perdebatan sebagai sarana penebus dosanya. Bagi orang lain pardebataon itu mungkin pula untuk mewujudkan kaulnya.

Mardebata ini boleh pula melibatkan yang lain. Hal itu bergantung kepada yang mampu. Karena Mardebata itu boleh oleh orang seorang boleh oleh keluarga dan seterusnya. Jika upacara dibuat besar-besaran misalnya untuk mewujudkan niatnya harus dengan menyediakan sesaji dengan secukupnya dan boleh pula dengan dihantar gendang sabangunan serta diatur oleh tata upacara resmi sesuai dengan tata upacara dari Ihutan atau dari Uluan.

Upacara Mardebata ini bagi yang mampu nampaknya sudah seolah-olah pesta, karena undanganpun dapat pula dilaksanakan. Jadi jelas bergantung pada nazar dikandung oleh yang terlibat. Jika satu nenek moyang sudah berniat untuk memuja Mulajadi Nabolon dengan jalan Mardebata hal itu dapat dilakukan oleh satu nenek moyang itu.

4. Pasahat Tondi

Upacara kematian dibagi dalam dua tahap. Pertama adalah pengurasan jenazah menjelang pemakaman, kedua adalah pasahat tondi. Pemberangkatan jenazah dipimpin oleh Ihutan atau Ulupunguan dengan upacara doa : “Borhat ma ho tu habangsa panjadianmu”, Artinya : Berangkatlah engkau ke tempat kejadianmu. Satu minggu setelah pemakaman, keluarga yang ditinggal mengadakan pangurason tersemayamkan di rumah.    Satu bulan setelah pemakaman, dilanjutkan dengan Upacara Pasahat Tondi yaitu upacara mengantar roh dalam hati harfiah. Tuhan menciptakan manusia atas dua bagian yaitu badan dan roh (pamatang dohot tondi). Apabila badan mati, toh tidak ikut mati, ia akan kembali kepada penciptanya, sesuai dengan pandangan ketuhanan Parmalim, bahwa “Ngolu dohot hamatean huaso ni Debata” artinya “kehidupan dan kematian adalah kuasa Tuhan.    Upacara ini adalah upacara tonggo-tonggo atau dosa. Dapat dilakukan dengan sederhana dan dapat pula dilakukan dengan besar-besaran bergantung pada kemampuan keluarga yang ditinggal. Tentu dengan demikian sesaji harus terhidang dan upacara harus memenuhi keseluruhan tata tertib acara berdasarkan Ugamo Malim. Ini bulan berarti bahwa acara tidak boleh dibuat sederhana. Boleh dengan acara sederhana, yang pokok adalah bagaimana inti pasahat tondi itu harus terlaksana.

5. Mangan Napaet

adalah upacara atau berpuasa untuk menebus dosa dilaksanakan selama 24 jam penuh pada setiap penghujung tahun kalender batak yaitu pada ari hurung bulan hurung. Upacara ini adalah bersifat umum dilaksanakan oleh setiap cabang atau ganup punguan. Perangkat dasar upacara ini selain pangurason dan pardupaon yang terpenting ialah makanan napaet, diramu dari beberapa jenis buah dan daun yang pahit, seperti daun pepaya, buah ingkir, babal, cabe rawit, jeruk bali muda dan gara.

Mangan Napaet dilakukan pada awal puasa dan pada akhir sebelum berbuka, sedangkan ritual dimulai jam. 12.00 tengah hari. pada saat semua jemaat berkumpul di parsantian atau dirumah Ihutan/Ulupunguan, upacara dasar dimulai berupa puji-pujian kepada Mulajadi Nabolon-Raja Nasiak bagi dan kemudian untuk mengingatkan hukumnya mangan napaet. Mangan Napaet dimulai dengan cara mengedarkan napaet tadi secara estafet. Mangan Napaet adalah merupakan pengabdian warga parmalim kepada Raja Nasiak bagi yang menderita untuk manusia. Dan juga arti mangan napaet adalah symbol kehidupan dari pahit menjadi manis, karena sudah mangan napaet akan diakhiri dengan mangan natonggi dan inilah permulaan hidup prilaku baru untuk dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. setelah mangan napaet maka dilaksanakan pula upacara persembahan kambing putih kepada Mulajadi Nabolon.

6. Upacara Sipaha Sada

adalah merupakan upacara yang paling hikmad dan mengandung nilai religius yang paling dalam, bagi Umat Parmalim. Pelaksanaan upacara ini disambut gembira karena sehari sebelumnya Parmalim baru saja selesai mengadakan upacara mangan napaet yaitu satu cara upacara pembebasan manusia dari dosa.

Upacara Sipaha Sada adalah penyambutan datangnya tahun baru Ugamo Malim atau pada Sipaha Sada inilah pergantian tahun terjadi. Boleh dikatakan Sipaha Sada ini adalah tahun baru batak. Pada upacara ini pada umumnya seluruh orang batak melakukan dialog bathin. Dan hari berikutnya dinamai Suma. Pada hari itu diperingati hari lahir Simarimbulubosi. Upacara dipusatkan di Bale Pasogit. Upacara ini melakukan sesajen juga kepada Mulajadi Nabolon termasuk kepada ketiga wujud pancaran kuasa yaitu Batara Guru, Debata Sori dan Debata Balabulan dan seterusnya sampai kepada Raja Nasiakbagi dihantarkan dengan asap dupa, air suci dan dengan bunyi gendang sabangunan.

Upacara ini dilaksanakan bersama di Bale Pasogit. Dengan demikian semua umat Parmalim. Pada upacara ini dilaksanakan dengan tertib dan memang benar-benar tertib dan hikmad karena dianggap hari tersebut adalah memperingati kelahiran Tuhan.

7. Upacara Sipaha Lima

yaitu upacara dilakukan pada bulan kelima kelender Batak untuk menyampaikan puji-pujian kepada Mulajadi Nabolon termasuk kepada wujud Pancaran Kuasanya mulai dari Debata Batara Guru-Debata Sori dan Balabulan dan seterusnya kepada Raja Nasiakbagi, karena atas berkatnya semua mereka memperoleh rahmat, sehat jasmani dan rohani. Upacara ini disebut Upacara Kurban, karena sajian yang dipersembahkan adalah hewan kurban dari kerbau atau lembu.

Sajian pertama kepada Mulajadi Nabolon yang seterusnya diantar dengan asap dupa dan air suci dan dengan bunyi gendang sabangunan.

Penyelenggaraan upacara Sipaha Lima ditetapkan pada hari ke 12-13 dan 14 menjelang bulan purnama. Hari tersebut dinamakan Boraspati, Singkora dan Samisara berkisar antara bulan Juli-Agustus pada bulan Masehi. Upacara diadakan dengan sajian yang lengkap dilaksanakan dengan penuh khikmad tanpa syukur Parmalim kepada Tuhannya dan agar diberi keselamatan dan kesejahteraan pada hari-hari berikutnya.

Jika pandangan Batak Tua mengenai ketuhanan dikembangkan Parmalim dengan ugamo Malim, maka berikut ini yaitu oleh masyarakat Batak sekarang masih memperilakukan pandangan tersebut pada kehidupannya sehari-hari dalam bentuk budaya ritual. Untuk lebih memahami pendapat ini marilah kita mulai lagi melihat pandangan dan kehidupan masyarakat Batak dahulu dengan masyarakat Batak sekarang.

Lambang wujud pancaran kuasa Mulajadi Nabolon adalah hembang atau bendera-bendera berwarna hitam diatas, putih ditengah dan merah dibawah dalam satu kesatuan yang disebut Debata Natolu. Warna Hitam adalah lambang Debata Batara Guru dari wujud pandang kuasa Mulajadi Nabolon dalam kebijakan atau hahomion. Artinya adalah bahwa pikiran manusia tidak mampu meneliti atau memikirkan kebijakan Mulajadi Nabolon.

Hahomion Mulajadi Nabolon itu dapat dialami tetapi tak dapat dipikirkan. Sebagaimana warna hitam pekat demikian pulalah gepalnya pikiran manusia atau kebijakan Mulajadi Nabolon. Manusia tidak dapat meramalkan dan meraba seperti gelapnya warna hitam, demikian pulalah dangkalnya dan gelapnya pikiran manusia tentang kebijakan Tuhan. Manusia tidak mampu untuk itu. oleh sebab itu lambang hitam dari Batara Guru adalah pertanda penyerahan diri kepadaNya.

Hanya terserah pada kebijakan Tuhanlah kehidupan manusia. Manusia tidak akan dapat berjalan pada warna hitam yang ketat, malam yang gelap. Maksudnya manusia tidak akan dapat berjalan di dunia ini oleh dirinya sendiri. Sebab itu berserah kepadaNya-lah dikemanakan hidup ini. Apalah arti manusia dibandingkan dengan Kuasa Agung yang dimilikiNya. Berserah kepada kebijakan Tuhanlah hidup ini karena Dialah kebenaran yang menetapkan kebijakan itu. jadi arti warna hitam pada lambing adalah berserah diri kepada kebijakan Tuhan atau berserah diri kepada hahomion ni Debata atau dengan kata lain : “Tung asi ni roha ni Debata ma”. Warna putih dari hembang adalah lambing Debata Sorisohaliapan sebagai wujud pancaran kuasa Mulajadi Nabolon mengenai kesucian atau hahomion. Putih tidak dapat dibedakan. Dengan demikian dalam warna putih tidak terdapat perbedaan. Demikianlah Debata Sohaliapan bahwa pada diriNya tidak ada perbedaan maka sering dikatakan Putih ada perbedaan pada dirinya. Dia harus sama dengan yang lain. Apabila dia sudah sama dengan yang lain, dan itu pula-lah hukum kekuatan baginya dan dialah menjadi penguasa hukum kekuatan itu (habonaron).

Warna merah dari hembang adalah lambing Debata Balabulan sebagai wujud pancaran kuasa Mulajadi Nabolon mengenai kekuatan. Balabulan adalah wujud kejadian kekuatan alam itu. merah adalah warna tanah atau rata dalam bahasa batak, merah itu adalah perlambang kegairahan untuk hidup. Justru kegairahan untuk hidup itulah maka timbul keberanian.

Seseorang yang berani ia tidak takut mati, maka sering kita dengar : “Mardomu di tano rara hita”. maksudnya mereka baru berjumpa setelah mati. Agar mati itu jangan sampai terjadi maka harus tetap kuat. Agar tetap kuat inilah dilambangkan dengan merah yaitu wujud pancaran kuasa Mulajadi Nabolon menjadi kekuatan. Warna merah adalah perlambang kekuatan dan agar tetap kuat (hagogoon). Setiap manusia mengharapkan kekuatan ada padanya. Kekuatan itu belum sempurna apabila hanya untuk diri sendiri. Dan lebih tidak sempurna lagi apabila tidak diridhoi Tuhan. Apabila kita padu arti ketiga warna tadi, maka dapatlah kita ambil kesimpulan bahwa hitam itu adalah kebijakan Tuhan, putih itu adalah kesucian Tuhan dari Tuhan, dan merah adalah kekuatan Tuhan (hahomion-hamalimon-hagogoon). Dengan melihat bendera atau lambang yang warnanya hitam diatas, putih ditengah dan merah dibawah, itu berarti menggambarkan kebijakan, kesucian dan kekuatan dari Tuhan. Artinya yang dilambangkan dalam bendera itu adalah Batara Guru sebagai wujud pancaran kuasa kebijakan, Debata Sorisohaliapan sebagai wujud pancaran kuasa kesucian dan Debatabulan sebagai wujud pancaran kuasa kekuatan dari Mulajadi Nabolon.

Lambang ini boleh dipisah-pisah seperti satu bendera tetapi dipacakkan berdekatan, dengan ketentuan hitam di kanan, putih ditengah dan merah dikiri. Kesimpulan arti lambang bahwa warna hitam – putih – merah merupakan kebijakan-kesuciannya dan kekuatannya tidak dapat dibandingkan, tidak bermula dan tidak akan berakhir dan mula segala yang ada. Ini adalah merupakan keyakinan orang batak pada umumnya dari dahulu sampai sekarang. Mengapa penulis berani mengatakan demikian, baiklah penjelasan berikut ini. Mungkin kita geli apabila diingat pada masa-masa kanak-kanak dahulu disuruh orangtua memakai boning menalu diikat ditangan jika ada wabah penyakit. Agar kita jangan dihinggapi penyakit, agar kita jangan dihinggapi penyakit, demikian pandangan kita waktu itu. kegelian hati kita sekarang inipun sebenarnya tidak berdasar karena sampai saat inipun kita semua dan masyarakatpun sehari-hari.

Bonang Manalu tiga benang masing-masing warna hitam atau biru, putih dan merah dipilin menjadi satu adalah symbol doa masyarakat batak merupakan keyakinan bahwa seseorang akan selamat apabila yakin bahwa tidak ada yang lebih kuat dari Tuhan Yang Maha Esa mula kebijakan, kesucian dan kekuatan itu. apabila saya memakai bonang manalu berarti saya telah yakin bahwa apapun yang akan terjadi baik pada saat ada wabah penyakit saya akan tetap selamat berkat kepercayaan saya yaitu Tuhan yang saya puja itu jauh lebih kuat dari kita seluruhnya. Saya yakin dan percaya bahwa saya akan tetap selamat berkat kepercayaan saya bahwa Tuhanku pemilik hahomion itu pemilik kesucian itu pemilik kekuatan itu adalah lebih kuat dari segala yang ada untuk melindungi saya.

Ulos yang masih dipakai orang batak dalam kehidupan ada adatnya adalah bonang manalu, warna pokok dari setiap ulos batak adalah hitam putih dan merah, sedang warna lain adalah variasi kehidupan. Justru inilah ritual ulos dalam adat batak. Symbol Tuhanlah yang tergambar dalam ulos batak. Mangulosi dalam adat batak adalah upacara ritual dan khikmadnya masih dapat dirasakan masyarakat batak. Gorga adalah bonang manalu perlambang doa masyarakat batak akan kekuatan Tuhan Yang Maha Esa mampu mengayomi manusia. Gorga itu dipakai pada rumah maka disebut ruma gorga. Penghuni Ruma Gorga akan tetap yakin bahwa mereka akan selamat-selamat berkat perlindungan Tuhan Yang Maha Esa. Gorma warna hitam-putih-merah dalam kehidupan orang batak bukan lah hiasan atau hiburan, tetapi adalah symbol keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Gorga dimana sajapun dipakai terutama pada solubolon selain dirumah adalah bermakna keyakinan tersebut. Hidup orang batak tidak dapat terlepas dari Bataraguru dari Debata Sorisohaliapan dan Debata Balabulan dalam arti kekerabatannya yaitu hahomion ni Debata. gambaran Bataraguru, gambaran Debata Sorisohaliapan dan gambaran Debatabulan terdapat pada kehidupan masyarakat batak dalihan natolu.

Justru dalihan natolu pandangan hidup orang batak adalah perwujudan kehidupan dan titisan dari banua ginjang. Dalihan Natolu adalah gambaran tersebut.bahwa hula-hula adalah titisan hahomion dari wujud pancaran kuasa Mulajadi Nabolon yaitu Bataraguru. Hasuhuton namardongan tubu adalah titisan hamalimon dari wujud pancaran kuasa Mulajadi Nabolon yaitu Debata Sirisohaliapan dan Boru adalah titisan kekuatan dari wujud pancaran kuasa v yaitu Debata Balabulan.

Kita tidak akan heran tetapi mungkin akan kagum bahwa ulos dari hula-hula lebih banyak hitamnya dari warna putih dan merah maka ulos hula-hula itu warna sibolang dan sitolu tuho. Demikian ulos dari hasuhuton atau yang dipakai hasuhuton namardongan tubu lebih banyak putihnya dari warna hitam dan merah maka ulos hasuhuton warna ragi idup. Tentu demikian pula ulos boru atau yang dipakai boru lebih banyak warna merahnya dari pada warna putih dan hitam maka ulos boru atau yang dipakai boru itu warna sadum dan warna mangiring. Perhatikan ulos parompa kebanyakan berwarna hitam-biru dan putih. Budaya batak cukup tinggi dan bernilai tinggi dalam kehidupan spiritual. Budaya itu akan tumbuh dan berkembang. Oleh sebaba itu masih perlu kita lihat hal-hal yang lama apa kaitannya dengan masa depan.

Salah satu dari yang lama itu misalnya mengenai sajian diperuntukkan kepada Mulajadi Nabolon dan Debata Natolu yaitu Bataraguru-Debata Sori dan Balabulan. Sajian untuk Nabolon dan Debata Natolu adalah kambing Putih dan kepada Bataraguru adalah manuk jarum bosi berarti warna hitam, kepada Debata Sori adalah manuk putih warna putih dan kepada Balabulan adalah manuk mira polin berarti warna merah. Bila pengertian bonang manalu telah kita ketahui beserta ulos gorga apakah arti dan makna sajian atau pelean dengan warna tadi yang diberikan kepada Tuhanh Yang Maha Esa. Dan apabila dibandingkan dengan pengertian pelean sekarang ini, apakah pelean yang diciptakan nenek moyang kita itu tidak sejajar dengan perkembangan zaman.

8. Tortor Pangurasan

Tortor Pangurason (Tari Pembersihan). Tari ini biasanya digelar pada saat pesta besar yang mana lebih dahulu dibersihkan tempat dan lokasi pesta sebelum pesta dimulai agar jauh dari mara bahaya dengan menggunakan jeruk purut.

9. Tortor Sipitu Cawan (Tari tujuh cawan)

Tari ini biasa digelar pada saat pengukuhan seorang raja, tari ini juga berasal dari 7 putri kayangan yang mandi disebuah telaga di puncak gunung pusuk buhit bersamaan dengan datangnya piso sipitu sasarung (Pisau tujuh sarung).Gbr dibawah.

10. Mangapus hoda miakan

Budaya ritual mangapus hoda miakan ini sangat jarang digelar sebab budaya ini digelar pada pesta pengukuhan siraja batak, ini digelar terakhir sekali pada pesta pengukuhan Raja Sisingamangaraja menjadi Siraja Batak dengan menggunakan makan kuda putih.

11. Tortor tunggal panaluan merupakan suatu budaya ritual ini biasa digelar apabila suatu desa dilanda musibah, maka tanggal panaluan ditarikan oleh para dukun untuk mendapat petunjuk solusi untuk mengatasi masalah tersebut. Sebab tongkat tunggal panaluan adalah perpaduan kesaktian Debata Natolu yaitu Benua atas, Benua tengah dan Benua bawah. Gbr dibawah.

12. Mangalahat Horbo

Mangalahat Horbo termasuk budaya ritual yang sangat penting sebab setiap tahun dilaksanakan pada hari kelahiran raja, hatorusan acara ritual ini sekaligus memberi sesajen kepada Mulajadi Nabolon dan Debata Natolu agar setiap manusia jauh dari mara bahaya.

Budaya ritual mangalakat horbo ini merupakan kunci dari seluruh ritual budaya batak kepada Mulajadi Nabolon.

13. Bahan pengobatan ritual yang selalu harus dibutuhkan.

Dalam pengobatan tradisional batak tidak selamanya menggunakan tumbuhan. Ada juga menggunakan makanan dan budaya ritual dalam pengobatan batak, suku batak selalu menggunakan anggir dan daun sirih dari seluruh kegiatan pengobatan dan budaya ritual.

14.Pengobatan dengan budaya ritual penyucian

Pengobatan ini biasa dilakukan dengan memandikan para pasien ke dalam air yang mengalir dengan menggunakan anggir dan tumbuhan lain yang sifatnya bertujuan membuang penyakit dari tubuh si penderita. Biasanya setelah selesai dimandikan setibanya dirumah akan diberikan makanan berupa ayam bagi laki-laki dan ikan bagi para wanita dengan tujuan agar roh para penderita menyatu dengan badan. Sebab manusia yang sakit biasanya karena rohnya tidak berada di dalam jasad.

15. Ilmu Pelindung

Dalam Ilmu Pelindung ini biasanya orang mencintainya dengan tujuan agar manusia tersebut jauh dari mara bahaya dan sekaligus membangunkan roh-roh kekuatan yang ada pada tubuh kita.

Dalam memberikan ilmu pelindung ini biasanya si penerima dibersihkan dibungkus dengan kain 3 warna, merah, putih, hitam dengan harapan merah kekuatan, putih kesucian dan hitam kebijakan berdiam dan bangkit dalam dirinya dan darahnya, sambil air jatuh di kepala si penerima dan si pemberi saling memohon untuk ilmu perlindungan tersebut.

Sumber : Prof.M.Sorimangaraja Sitanggang my opera

Prof. Dr. Radja Pingkir Sidabutar

Prof. Dr. Radja Pingkir Sidabutar

Diambil dari : http://www.pdpersi.co.id/ dan http://www.pdat.co.id/ads/html/R/ads,20030625-62,R.html

Di sekolah, dahulu ia tidak terlalu cemerlang. ”Tetapi, justru itulah yang mengharuskan kita menjadi pintar,” kata R.P. Sidabutar, kini seorang dari segelintir ahli penyakit ginjal yang dimiliki Indonesia.

Anak sulung dari empat bersaudara ini berkaca mata tipis dengan rambut disisir rapi ke belakang. Sebenarnya, ia tampak berwibawa dalam seragam dokternya. ”Tapi, kata anak saya, saya lebih cocok jadi tukang pangkas,” katanya. Ketua Konsultan Rumah Sakit Cikini ini memang senang bergurau.

Ayahnya, Wismar Sidabutar, pensiunan pegawai Kehakiman di Tapanuli. Tamat SD di Balige, Tapanuli, ia meneruskan sekolah ke Jakarta. Lulus FK-UI, 1961, ia lalu memperdalam subspesialis ginjal dan hipertensi di Universitas Leiden, Negeri Belanda. Di sana ia diangkat anak oleh Prof. De Graaf, seorang sejarawan yang memiliki perhatian besar terhadap Indonesia. Ia kemudian membentuk Subbagian Ginjal dan Hipertensi di RSCM, Jakarta, bahkan menerima sumbangan alat pencuci darah untuk pertama kali di Indonesia.

Tantangan adat dan agama menjadi halangan baginya untuk melakukan pencangkokan ginjal. Baru pada 1977 ia dapat melakukan pencangkokan. Tangannya, dibantu para tenaga ahli bidang lainnya, kini sudah mencangkokkan lebih dari 43 ginjal. Ini membuat dia tambah optimistis. ”Tak lama lagi masyarakat dapat menerima ginjal dari mayat,” kata Sidabutar yakin.

Membagi waktu memang menjadi masalah orang sesibuk Sidabutar. ”Dokter tak sama dengan pegawai kantor, yang waktunya dapat diatur,” ujarnya. Tapi ia mengaku sangat puas bila berhasil menyembuhkan orang lain.

Melihat beberapa negara maju kini mengembangkan pemecahan batu ginjal dengan sinar laser, ia belum buru-buru menggunakannya, kendati tertarik. Sampai-sampai tenaga asing yang diundangnya heran, melihat keterbelakangan Indonesia di bidang peralatan mutakhir. ”Kok dalam kondisi begini, kita dapat bekerja dengan baik dan tak kalah dengan mereka,” kata Sidabutar. Memiliki hanya dua ahli ginjal pada 1970, Sidabutar lega jumlah itu kini sudah menjadi 25.

Menikah dengan Roswita boru Simanjuntak, 1965, ia dianugerahi tiga anak yang kini beranjak dewasa. Gemar lari pagi, sepak bola, musik, dan fotografi, sebelum tidur ia biasa membaca buku-buku komputer, astronomi, humor, atau fiksi yang best- seller.

Prof. Radja Pingkir Sidabutar Dokter yang suka berangan-angan

  • Belajar Ginjal Di Negeri Belanda
    Sosok astronom mengkristal dalam angan-angan Prof. Dr. Radja Pingkir Sidabutar. Setelah lulus SMA Kanisius, Jakarta 1954, anak pertama dari empat bersaudara ini, justru berangan-angan menjadi astronom/ahli perbintangan. Bukan menjadi seorang dokter, profesi yang kini digelutinya. Karena itulah, ketika remaja, beliau berniat belajar ilmu perbintangan. “Waktu itu, lulusan ilmu perbintangan masih sangat langka,” kenang Prof. Sidabutar.
    Bukan apa-apa. Pada masa itu, memang Amerika Serikat lagi gencar dengan program antariksawannya. Begitu pula dengan Uni Soviet (CIS). Kedua Negara itu berseteru untuk membuktikan siapa diantara mereka yang berhasil mendaratkan astronotnya ke bulan. Barangkali, berkat informasi inilah yang membuat remaja Sidabutar berniat menjadi astronom. Meskipun sebenarnya pada dasawarsa 1950-an profesi idola anak remaja adalah dokter, guru, dan insinyur.  Ketika Sidabutar Berkonsultasi dengan ibunya, Rustina L.H. br.Siahaan, justru oleh ibunya remaja Sidabutar dianggap terlalu berangan-angan. Karena belum bisa memutuskan pilihannya, Sidabutar kelahiran Balige, Tapanuli 18 Oktober 1935 itu lalu berkonsultasi dengan kepala sekolahnya. “Kata beliau, kalau saya memilih kedokteran, saya pasti berhasil”, kenangnya mengutip kata-kata kepala sekolahnya.  Bersama 600 orang pelamar lainnya, pada tahun 1954, remaja Sidabutar ikut ujian masuk Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK-UI), Jakarta. Anak dari Wismar Sidabutar, pegawai pada Departemen Kehakiman ini termasuk yang lulus. Ketika itu, jumlah kursi sedikit. Kalau ingin dapat tempat duduk waktu kuliah, maka, “Jam setengah lima kita harus sudah di sana”. Ketika itu, suasana kuliah masih enak. Hubungan dosen dan mahasiswa cukup baik. Orang tua tidak perlu terlalu banyak mengeluarkan uang. Jumlah siswa yang ingin melanjutkan ke perguruan tinggi masih sedikit. Banyak sekali tawaran beasiswa dari pemerintah, dengan kewajiban mengikuti ikatan dinas. “Setahun kemudian saya dapat ikatan dinas. Rapel (beasiswa) keluar setiap tahun. Rapel pertama, kita ramai-ramai beli jas”, ujarnya, mengenang masa kuliah dulu.  Setelah lulus FK-UI, 1961, kembali Sidabutar dihadapkan pada pilihan. Dasar pilihan untuk menentukan bidang spesialisasi memang, dokter yang bertubuh pendek ini suka berangan-angan. Akhirnya ia memilih spesialis penyakit dalam. Karena di spesialis ini, “Banyak teori dan penalaran”, ujarnya. Ketika itu, yang paling popular adalah ahli bedah. Tetapi , yang paling diminati, ahli jantung dan ahli paru-paru. “Saya sendiri kemudian memilih mendalami Ilmu Penyakit Dalam, ginjal dan tekanan darah tinggi”.  Setelah mengikuti pendidikan spesialis penyakit dalam selama empat tahun di FK-UI, ia lulus pada tahun 1965. Ketua Perhimpunan Transplantasi Indonesia (PERTRANSI) ini mulai menyenagi masalah ginjal dan darah tinggi. Beliau menjajaki pakar-pakar ginjal dan pakar darah tinggi (hypertensi), rumah sakit tempat pakar-pakar itu bertugas, termasuk perguruan tingginya. Beliau melirik pakar ginjal Australia, Belanda, Inggris, Jerman Barat, Amerika, Jepang dan sebagainya. Setiap ada rekanan yang bertandang ke negeri itu, Sidabutar tidak lupa menitipkan surat untuk disampaikan kepada pakar ginjal di negeri itu. Kepercayaan dirinya untuk mendalami penyakit ginjal semakin kental. Setelah menghadapi banyak kasus di negerinya dan melihat perkembanhan di luar negeri, dan ditambah dukungan oleh Prof.Dr. Utoyo Sukanto salah seorang seniornya semangat Sidabutar pun kembali menyala-nyala. “ Beliau itu sangat terbuka dan dengan gembira menandatangani surat saya (sebagai referensi) yang akan saya kirimkan ke pakar ginjal di luar negeri”.  Bukan hanya melalui surat, Sidabutar pun terbang langsung ke luar negeri. Saat itu ia mendapat kemudahan dan dukungan dari pamannya yang bekerja di Garuda Indonesia. Sudah menjadi kebijakan Garuda, setiap karyawannya mendapat jatah tiket gratis. Sebagai anggota keluarga pamannya, Prof. Sidabutar menggunakan jatah tiket gratis itu untuk bertandang ke luar negeri. Akhirnya, ayah tiga anak, yang menikah dengan Roswita br.Simanjuntak tahun 1964, bisa mengikuti pendidikan singkat tentang ginjal di Universitas Leiden, Belanda. Disana, orang Batak ini dianganggap sebagai adik oleh Prof.J de Graeff, yang punya perhatian besar tentang Indonesia. Prof.J de Graeff adalah putra Gubernur Jendral de Graeff.  Tetapi, secara formal, justru ia mengikuti pendidikan superspesialis (kini spesialis II) ginjal di FK-UI. Yang, menarik, justru ia sendiri yang menandatangani ijazahnya. “ Aneh, tapi begitulah kenyataannya”, tutur Sidabutar. Sebab, “Waktu itu, kalau ada yang bilang saya ahli ginjal, tidak ada yang keberatan”, tambahnya. Namun, ia mesti berjuang agar diakui oleh himpunan profesi. Dan, perjuanan itu tidak terlalu sulit. Kini, orang Batak yang bertubuh pendek itu, bahkan sudah meraih guru besar. Sekarang, ada 50-an ahli ginjal bertebaran di Indonesia.  Ginjal, yang kerap dikenal sebagai buah pinggang, adalah alat tubuh yang berbentuk kacang merah. Jumlahnya dua buah, terletak di rongga belakang perut, sebelah kiri dan kanan tulang belakang. Fungsinya mengeluarkan bahan-bahan beracun dan sampah yang tidak terpakai lagi dan menghisap kembali bahan yang masih diperlukan. Sehingga, buah pinggang memproduksi berbagai hormone. Itulah sebabnya, kalau orang yang menderita gagal ginjal, buah pinggangnya tidak berfungsi lagi, darahnya akan keracunan. Kalau tidak dilakukan pencucian darah, maka pasien akan meninggal.
  • Cangkok Ginjal  Ginjal merupakan organ tubuh yang unik. Dengan hanya satu ginjal, orang masih bisa hidup. Seandainya, kedua ginjal pasien sudah tidak berfungsi lagi sebagai penyaring dan pencuci darah, orang masih bisa bertahan hidup. Seorang ahli Ginjal bisa membantu memulai proses “Hemodialisis” (pencucian darah) atau “dialysis mandiri berkesinambungan”, suatu pencucian melalui rongga perut yang dilakukan sendiri oleh pasien di rumah agar bahan-bahan beracun tidak mendekam di dalam darah. Inilah bedanya dengan ahli hati atau jantung. Kalau jantungnya beberapa menit saja berhenti, bukan mustahil manusia itu bisa menemui ajalnya.  Bukan hanya berkemampuan membantu ‘mencuci darah’ ahli ginjal juga bisa mencangkok ginjal dari donor. Tentu, pencangkokan itu bertujuan untuk menggantikan fungsi ginjal pasien, yang sudah aus.  Setelah bergelut dengan tantangan kekurangan sarana, kendala dari sudut budaya dan agama, tahun 1977 untuk pertama kalinya beliau bersama sejawatnya berhasil mencangkokkan ginjal. Hingga kini, dengan dukungan peralatan yang memadai dan ahli lainnya, anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI) ini telah berhasil mencangkokkan lebih dari 100-an ginjal.  Agar pencangkokkan ginjal dapat berkembang di suatu Negara, maka sumber donor ginjal perlu dimanfaatkan. Untuk dapat mencapai hal ini dibutuhkan dukungan dan partisipasi dari masyarakat. Pandangan dari segi budaya, adat-istiadat dan pandangan agama merupakan kendala utama yang harus mendapat perhatian. Dewasa ini tidak jarang orang ingin menjadi donor, tetapi tujuannya adalah untuk mendapatkan imbalan atas ginjal yang disumbangkannya. Menurut Sidabutar, secara etis, menyumbangkan ginjal secara sukarela kepada yang memerlukan, tentu tidak menjadi masalah. “Yang saya protes, negosiasi jual-beli ginjal. Itu, saya tidak setuju”, kata Prof.Sidabutar.  Masalahnya, menurut Sidabutar, kalau orang normal, pasti ada ”take and give”. Ada budi, pasti ada balasannya. Nah, dalam konteks ini, kata Sidabutar, ada suatu penyumbang gijal yang tidak mau mendapat bayaran. Ia menyumbangkan secara sukarela. Tetapi, suatu ketika, penyumbang ginjal ini kesulitan uang untuk membayar uang sekolah anaknya. Nah, “Saya sebagai orang yang tertolong dan sudah disumbangi ginjal, dan saya punya uang, saya tolong dia. Nah, kalau cara seperti ini menurut saya, bukan jual beli”, tutur Sidabutar. Oleh karena itu, menurut Sidabutar, masalah imbalan ada batasannya. Kalau sejak awal, donor dan penerima ginjal sudah negosiasi tentang imbalannya, maka hal inilah, yang tidak disukainya.
  • Pelayanan Kesehatan  Dokter adalah manusia. Sebagai menusia tentu dokter juga tidak pernah lepas dari kekurangan. Karena itu, dokter perlu terus mengembangkan dirinya. Kalau pengetahuannya terus bertambah, menurut Sidabutar, maka kita semakin sedikit menemukan kasus-kasus malpraktik. Tuntutan masyarakat dewasa ini bukan saja mengenai pelayanan medis yang baik, tetapi juga pelayanan nonmedis yang makin meningkat.  Ada pasien yang memprotes karena diberi handuk putih yang tidak sama tebalnya dengan handuk putih-putih yang tebal-tebal.” tutur Sidabutar. Akibatnya, seringkali para susternya kena semprot pasien. Sebaliknya, ada suster yang balik kesal. Sebab, “Suster merasa sudah memberi handuk putih yang baik,”cerita, Prof.Sidabutar. Nah, pada kondisi ini, timbullah protes dari pasiennya. Bahkan, karena masalah seperti itu, justru pasien menganggap pelayanan medis kurang baik. Masalah yang sebenarnya adalah ukuran atau nama yang berbeda. Padahal menurut Sidabutar, dokter itu dididik tidak hanya untuk orang-orang yang berkantong tebal saja. Tetapi juga untuk pasien-pasien yang berkantong tipis. Soalnya, kita tahu penyakit itu bisa menghinggapi siapa saja. Orang kaya atau orang miskin. Itulah sebabnya, menurut Sidabutar, dokter tidak bisa jadi pengusaha. Sebab, “sejak kita sekolah, kita hanya diajarkan masalah-masalah yang erat kaitannya dengan orang yang menderita,” tuturnya. Kecuali, memang, bagi dokter, yang begitu lulus, tidak menekuni profesi kedokteran.  Dewasa ini, seorang dokter yang baru lulus, diwajibkan mengabdi di puskesmas (Pusat Pelayanan Kesehatan Masyarakat) dalam jangka waktu tertentu. Tujuannya, untuk pemerataan pelayanan kesehatan. “Kalau dilihat dari segi kepentingan nasional, ini suatu hal yang positif. Karena kita mau meratakan dan menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan sampai ke pelosok-pelosok,” tutur Sidabutar.  Namun, kalau ditinjau dari segi individu dokternya, kewajiban itu jelas dianggap bertentangan dengan hak asasi manusia. Tetapi, menurut Sidabutar setiap calon dokter, tentunya sudah mempertimbangkan hal-hal tersebut sebelum memutuskan untuk kuliah di fakultas kedokteran. “Saya rasa, setiap dokter, sebelum dia memilih masuk fakultas kedokteran, sudah mempertimbangkan itu. Dia sudah mencoba menyesuaikan diri, bahwa suatu ketika ia mesti mengorbankan kepentingan dirinya sendiri untuk kepentingan masyarakat” tuturnya.  Tetapi, bagi Sidabutar, bekerja di Puskesmas itu cukup menarik. Bukan hanya tantangan bekerja di Puskesmas atau bukan hanya individu si pasien yang kita lihat, tetapi juga lingkungan masyarakat di sana. Misalnya, kalau kita ingin memberikan nasihat tentang rehabilitasi penderita penyakit, kita harus meninjau aspek lingkungan keluarga, seperti anak, istri, saudara-saudara dan sebagainya. “Kalau membuat pekerjaan di Puskesmas, batasan-batasan dari tindakan kita, mesti melihat kepentingan yang lebih besar, “tutur Sidabutar. Sedangkan, di rumah sakit, “Kita hanya behadapan dengan individu”. < br>< br>| Namun kita juga harus berbangga hati bahwa cukup banyak dokter yang senang bila diterjunkan ke Puskesmas. Sebab, mereka itu berhadapan dengan individu pasiennya.karena kita tidak perlu heran dan berprasangka aneh bahwa masih merasa betah dengan daerah dan masyarakatnya, karena merasa sudah tertarik dengan pekerjaan dan lingkungannya. “Bekerja di Puskesmas itu bukan hanya pengorbanan saja”, tutur Prof. Sidabutar.  Masalah lain dalam pelayanan medis antara lain adalah, menyangkut perubahan pola penyakit. Semula, dikalangan masyarakat Indonesia, banyak di temukan penyakit infeksi yang di sebabkan oleh pelbagai jenis jasad renik. Kini, mulai bermunculan penyakit yang disebabkan oleh perubahan pola konsumsi sebagai akibat tumbuhnya kelas menengah baru. Seperti penyakit kanker, jantung dan sebagainya. Akibatnya, secara bertahap terjadi pergeseran dalam pola pelayanan kesehatan. “Dokter perlu mengadakan penyesuaian untuk menghadapi masyarakat menengah ke atas, yang banyak sekali perbedaan pola penyakitnya dan tuntutannya”, ujar Sidabutar.  Di lain pihak, terjadi perubahan teknologi kedokteran yang demikian cepat. Untuk itu, menurut Sidabutar, kita perlu menyaring dan mengadaptasi dulu setiap teknologi apakah cocok untuk kondisi masyarakat kita. Kalau tidak, “Nanti alat-alat kedokteran itu hanya bisa dimanfaatkan oleh segelintir orang”, tuturnya. Sebab, kini, dengan menggunakan alat-alat canggih dalam pelayanan kesehatan, seringkali mendongkrak biaya pengobatan. Keadaan inilah yang menyebabkan ketika ditemukan gelombang kejut sebagai pemecah batu ginjal, beliau tidak buru-buru menggunakannya.  Selain itu, penggunaan alat-alat kedokteran berteknologi canggih itu memerlukan proses adaptasi yang lama dengan kondisi mesyarakat Indonesia. “Jadi setiap teknologi yang masuk, perlu disaring dan disesuaikan dengan kondisi kita. Harus dilihat prioritasnya demi kepentingan orang banyak. Saya rasa demikian untuk masa mendatang”, Tutur Prof. Sidabutar.
  • Keorganisasian  Di samping menjalankan profesinya, penggemar sepak bola, music, fotografi dan lari pagi ini, benyak menggeluti bidang organisasi baik di tingkat nasional maupun internasional. Prof. Sidabutar tercatat sebagai anggota Ikatan Dokter Indonesia, Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia, Perkumpulan Gawat Darurat Indonesia, Perhimpunan Transplantasi Indonesia, Perhimpunan Nefrologi Indonesia dan lain-lain. Pada tingkat internasional, Prof. Sidabutar yang hingga tahun 1991 sudah menulis lebih dar pada 150 makalah ini, antara lain tercatat sebagai anggota International Society of Transplantation, International Society of Hypertension, Asia Society for Transplantation dan International Society of Hypertension.  Selain itu, guru besar yang berambut agak ikal ini berkecimpung juga dalam sejumlah yayasan. Antara lain Yayasan Pengembangan Medik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Yayasan Giatri Indonesia, Yayasan Kesehatan PGI Cikini, Yayasan Medigrow, Yayasan Bina Nefrologi dan Yayasan Ginjal Jakarta.  Bagaimana penilaiannnya terhadap Ikatan Dokter Indonesia (IDI)? Menurut Prof. Sidabutar, IDI belakangan ini sangat progresif, aktif dan berani. IDI tidak hanya menegur ke dalam, memperbaiki ke dalam, mengoreksi ke dalam, tetapi juga melindungi. Selain itu, pemikiran-pemikiran IDI sangat progresif dalam mengantisipasi masalah-masalah yang dihadapi. IDI berani mengemukakan pendapatnya dengan tegar.
  • Sejarah Keluarga  Masa kecil Sidabutar, di habiskan di kota kelahirannya, Balige, Tapanuli. Ketika berumur sebelas tahun, tentara datang memasuki kota itu. Prof. Sidabutar kecil tidak bisa pulang dari sekolah. Bahkan ia mesti ikut naik ke gunung. Selama dua hari dua malam, Sidabutar kecil mesti lari ikut rakyat untuk menghidar dari tentara Belanda. “Teman-teman sekelas tidak bisa pulang ke rumah”.  Setahun setelah ia menamatkan sekolah dasar, pada tahun 1948, melalui Singapura Sidabutar merantau ke Jakarta. Ia sempat tinggal sebentar bersama keluarga di Bogor, lalu pada tahun yang sama, anak pasangan Wismar Sidabutar dan Rustina L.H. br. Siahaan ini masuk SMP Kristen Jakarta. Tentunya, ia pindah dan tinggal lagi di Jakarta bersama orangtuanya. “Rumah orangtua saya dulu seperti asrama. Banyak orang yang numpang tinggal di rumah kami”, katanya.  Ada keanehan ketika beliau sekolah di SMP. “Waktu pertama saya datang, saya tidak pakai sepatu sekolah. Saya ditertawakan karena memakai sepatu tenis. Mereka anggap itu suatu keanehan, karena sepatu tenis dipakai untuk sekolah”, kenang Prof.Sidabutar. “Waktu itu saya tidak mengerti, mengapa saya ditertawakan”, tambahnya. Ternyata, memakai sepatu tenis untuk bersekolah, ketika itu masih dianggap aneh.  Lulus SMP Kristen tahun 1951, terus melanjutkan ke SMA Kanisius di kawasan Menteng Raya, Jakarta. Senagai orang yang berasal dari kampong, Prof. Sidabutar mesti belajar keras, agar bisa beradaptasi dengan teman-temannya yang pintar-pintar. Dan lagipula, prestasi adalah segala-galanya. “Prestasi itu dihargai sekali. Guru-guru akan sangat menghargai kalau kita berprestasi. Iklimnya saat itu adalah iklim berprestasi”, kenang Prof. Sidabutar.  Bukan hanya prestasi di bidang ilmu alam, misalnya, tetapi juga di bidang olahraga dan kesenian. “Saya anggap, selama saya di SMA Kanisius adalah merupakan masa adaptasi yang cukup keras. Saya tidak pernah mengatakan kepada teman-teman bahwa orangtua saya sederhana. Saya belajar dengan keras dan giat berdisiplin”, ujar Prof. Sidabutar. Sikap-sikap inilah, yang kemudian mewarnai dalam kehidupan beliau selanjutnya.  Tiga tahun setelah meraih dokter umum dari Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, pada tahun 1964 beliau menikah dengan Roswita br.Simanjuntak. dari hasil perkawinannya, pasangan ini dikaruniai dua putra dan satu putri. Yaitu, Dr. Hilda Apulana Ruswaty Sidabutar, Basana Mangihutta Sidabutar, S.H. yang ada pada bulan Agustus 1992 baru-baru ini mencapai gelar M.A. di USA, dan Wilmar Josua Sidabutar, S.E. (kini mengikuti pendidikan strata 2 di USA).  Tetapi, di tengah kesibukannya sebagai dokter, guru besar ini seringkali mesti berjanji dulu untuk bertemu dengan anak-anaknya. Kesempatan berkumpul bersama isteri dan anak-anak merupakan hal yang langka baginya. Makan bersama-sama di restoran kadang-kadang hanya terjadi bila berpergian bersama keluar kota atau ke Singapura misalnya. Dalam kesempatan seperti itu anak-anak tidak jarang “menertawai” ayahnya. Karena membanggakan hal yang ada di Singapura, padahal di Jakarta jenis itu banyak. Masalahnya kalau di Jakarta, Sidabutar tidak sempat melepaskan pekerjaan, sehingga tidak melihat apa yang dibanggakannya. “ Di Jakarta beginian banyak, Pak” kata anak-anak.  Di dalam pekerjaan, dokter ini memang berhasil. Bahkan ia mempunyai motto: tiada hari esok untuk menyelesaikan pekerjaan hari ini, sehingga pekerjaan tidak menumpuk . tapi, sayang, guru besar ini suka lupa, misalnya, memberikan ucapan selamat kepada anak-anaknya yang berhasil menempuh pendidikan. “Saya tidak membuat pesta atau perayaan sedikitpun kepada anak-anak saya. Padahal mereka sudah lulus sarjana. Inilah salah satu kelemahan saya”, tuturnya.
  • Suka Berangan-angan  Profil Sidabutar sebagai dokter justru kadang dijadikan anak-anaknya sebagai bahan olok-lokkan. Sidabutar dijuluki “tukang cukur rambut”. Habis, “Kalau saya berpakaian dinas dokter, saya tidak kelihatan seperti dokter, tetapi seperti tukang cukur rambut”, katanya sambil tertawa.  Meskipun Sidabutar sekarang telah menjadi dokter, namun cita-cita masa lalunya untuk menjadi astronom tidak terkubur begitu saja. Sering sebelum tidur, Sidabutar membaca buku-buku astronomi. Sifatnya yang suka berangan-berangan masih terus terpelihara dan dikembangkan. Hal ini terlihat buku computer, humor dan buku-buku fiksi.  Sidabutar juga mengakui berangan-angan untuk masuk surge. “Kalau saya masuk surge, permintaan saya, saya ingin tur ke alam semesta. Kedua, saya ingin menjadi penyanyi paduan suara” tutur Prof. Sidabutar. Kok, Penyanyi?  Bukan apa-apa. Ketika menjadi mahasiswa, saya di FK-UI, Jakarta, remaja Sidabutar pernah bergabung dalam suatu group band. “Saya tidak pernah balajar musik. Tetapi, waktu masih mahasiswa, saya pernah mengikuti grup music band”, katanya. Mereka tampil kalau ada acara-acara di FK-UI. Acaranya biasanya digabung dengan acara ilmiah social.  Tetapi, zaman sekarang, menurut Prof. Sidabutar, kita tidak bisa hidup dengan angan-angan saja. Tetapi bagaimana mewujudkan angan-angan itu menjadi kenyataan. Anggaplah angan-angan itu sebagai pilihan. Nah, menurut Sidabutar, dalam hidup itu jangan hanya bersandarkan pada satu pilihan. Tetapi, banyak pilihan. “Sampai sekarang pun, selalu saya katakan, tidak boleh hanya mempunyai satu pilihan. Tetapi, harus ada yang pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Di samping jadi astronom, dokter adalah pilihan pertama saya, tutur Prof. Sidabutar sembari tersenyum

 

Nama :
RADJA Pingkir Sidabutar
Lahir :
Balige, Tapanuli Utara, Sumatera Utara, 18 Oktober 1935Agama :
KristenPendidikan :
– SD, Balige (1947)
– SMP, Jakarta (1951)
– SMA, Jakarta (1954)
– Fakultas Kedokteran UI, Jakarta (1961)
– Pendidikan Spesialisasi Penyakit Dalam FK UI, Jakarta (1965)
– Pendidikan Super-Spesialisasi FK UI, Jakarta (1970)
Karir :
– Asisten Ahli Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UI/RSCM, Jakarta (1960)
– Kepala Subbagian Ginjal Hipertensi FK UI/RSCM (1966 — sekarang)
– Direktur Urusan Pendidikan RS DGI Cikini (1968-1982)
– Ketua Unit Ginjal FK UI/RSCM (1970)
– Ketua Tim Transplantasi Ginjal RS DGI Cikini (1977)
– Koordinator Tim Transplantasi Ginjal FK UI/RSCM (1977)
– Lektor Kepala, Bagian Penyakit Dalam FK UI/RSCM (1979 — sekarang) Kegiatan lain: Ketua Yayasan Ginjal, Jakarta (1975 — sekarang)
– Ketua Perhimpunan Nefrologi Indonesia (1975 — sekarang)
– Anggota International Society of Nephrology (1968 — sekarang)

Alamat Rumah :
Jalan Susilo Raya 8, Jakarta Pusat Telp: 591127

Alamat Kantor :
Subbagian Ginjal Hipertensi FK UI/RSCM Jalan Diponegoro 71, Jakarta Pusat

 

Tarombo Tamba Tua

MARGA PARNA YANG  MASUK HORONG TAMBA TUA SESUAI DENGAN URUTAN

1. Siallagan
2. Turnip
3. Tamba Batu Mandiri
4. Tamba Lumban Pea
5. Tamba Lumban Pande
6. Tamba Manggohi Raja
7. Tamba Guru Satea Bulan
8. Tamba Guru Sinanti
9. Sidabutar
10. Gusar (keturunan Sijabat – Padan Sitanggang)
11. Sijabat
12. Saragi Dajawak (Sijabat di Simalungun)
13. Ginting Jawak (Sijabat di Karo)
14. Siadari
15. Sidabalok
16. Tamba Marhati Ulubalang
17. Tamba Lumban Uruk
18. Tamba Rumaroha
19. Tamba Rumarambe
20. Tamba Rumahorbo
21. Rumahorbo
22. Napitu
23. Sitio
24. Tamba Sidauruk
25. Sidauruk
sesuai Tugu Tamba Tua.

Pesan atau Tona dari Ompung Raja Nai Ambaton tu Pinomparna PARNA

Di hamu sude pinomparhu na mamungka huta di desa naualu di Tano Sumba, di na manjujung baringin ni Raja Harajaon ni Raja Isumbaon. Partomuan ni aek Partomuan ni Hosa. Mula ni jolma tubu, mula ni jolma sorang. Asa tonahonon ma tonangkon tu ganup pinomparmu ro di marsundut-sundut. Asa sisada anak, sisada boru. Hamu sisada lungun, sisada siriaon, naunang, natongka, na so jadi masibuatan hamu di pinompar muna manjujung goarhu Si Raja Nai Ambaton Tuan Sorba di Julu Raja Bolon. Asa ise hamu di pomparanhu namangalaosi tonangkon, tu hauma i sitabaon, tu tao ma i sinongnongon, tu harangan mai situtungon. Sai horas horas ma hamu sude pinomparhu di namangoloi podangki.